NaF5MWVaNWx9NatbMqBbMax7LDcsynIkynwbzD1c

Diajar Ti Papada Urang

Diajar Ti Papada Urang Oma, S.Pd

BLANTERLANDINGv101
3584130743826627769

Diajar Ti Papada Urang

03/11/20

Oma, S.Pd

Belajar Ikhlas dari Kang Adah

Oleh : Oma, S.Pd.

            Diajar ti papada urang”, belajar dari sesama manusia. Pepatah orang tua Sunda itulah yang mungkin banyak terlupakan. Padahal kalau kita coba kaji, begitu dalam makna dan besar pula manfaatnya. Terus kalau kita lebih jauh menyikapi perkembangan zaman, maka pepatah itu akan menjadi kekuatan pemikiran di abad dua puluh satu. Salah satu kompetensi yang disyaratkan untuk menghadapi kemajuan abad dua puluh satu adalah kemampuan kolaborasi atau kerja sama. Begitulah kehebatan orang tua kita, sejak dulu sudah mampu memikirkan kemampuan apa yang diperlukan di abad yang serba canggih.

Kembali pada pepatah “Diajar ti papada urang”. Suatu saat Kang Adah sedang berbincang-bincang tentang pengorbanan temannya mengobati orang tuanya yang sedang sakit cukup berat. Ketika itu datang Kang Budiman yang juga menceritakan telah menghabiskan uang cukup banyak untuk mengobati ibunya. Selanjutnya, Kang Budiman berkata’ “Berapapun uang yang kita gunakan untuk mengobati orang tua tidak usah kita pikirkan, karena sesungguhnya uang itu bukanlah uang kita, tetapi uang orang tua kita yang diberikan lewat tangan kita”. Tiba-tiba Kang Anang ikut  bersuara, menguatkan pendirian Kang  Budiman, “ Yah, kita harus ikhlas”. Seketika itu, Kang Adah menjawab dengan pemikirannya, “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”.

            Ungkapan Kang Adah yang berbunyi, “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”, inilah yang mungkin harus kita pelajari dengan pemahaman yang komprehensif. Artinya, apabila seseorang anak atau siapapun yang sudah berkeyakinan bahwa segala derma yang diberikan kepada orang tuanya, itu bukan milik atau rizki dia, tetapi semata-mata itu milik dan rizki orang tuanya yang diberikan lewat tangan dia. Inilah keikhlasan yang sesungguhnya. Dalam pemikiran lain, mungkin saja Si-Dia (Seorang anak atau siapapun) tidak akan mempunyai uang untuk mengobati orang tuanya apabila orang tuanya tidak sakit. Ketika kerangka pemahaman ini sudah terbentuk dalam diri seseorang maka akan hilanglah  penyekit stress dengan  berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh stress.

            Dalam kenyataan hidup yang lain, Kita sering menghitung atau berkata bahwa uang kita (orang tua) cukup besar untuk membiayai sekolah anak. Padahal sesungguhnya uang itu adalah uang anak kita, bukan uang kita. Seandainya kita tidak punya anak yang sekolah atau kuliah, mungkin kita tidak punya uang itu. Sekali lagi, inilah mungkin makna uangkapan Kang Adah, “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”.

            Dalam dunia kerja, apalagi ini. Kita yang dititipi tugas dan kewajiban mengelola keuangan, akan sering berhadapan dengan kenyataan  seperti di atas. Setelah mencairkan dana, dana itu segera disalurkan untuk menutupi komponen-komponen yang sesuai dengan juklas dan juksnis yang telah ditetapkan. Kemudian kita lihat saldo kas tunai, yang tersisa apa? Semua sudah tahu. Tidak perlu dijawab. Inilah tugas kita, merencanakan, mencairkan, melaksanakan, dan menyusun pelaporan.

            Belajar dari paparan di atas, minimal ada dua hal yang perlu menjadi pembelajaran. Pertama, berapapun uang, rizki, harta, atau apalah namanya yang secara syah sudah berada di tangan kita belum tentu sepenuhnya menjadi milik kita. Mungkin di situ ada hak anak, hak orang tua, bahkan hak orang lain sekalipun. Kita harus menanamkan pemahaman yang mendalam bahwa apapun yang kita berikan kepada pihak lain, itu memang hak dan milik mereka. Dan bersyukurlah bahwa kita sudah dipercaya oleh Yang Maha Pemberi untuk memberi kepada orang lain. Kedua, sebagai insan yang diberi tugas dan wewenang kedinasan, kita harus mengelola/menyalurkan keuangan sesuai dengan juklak atau juknis yang telah ditetapkan.

            Seandainya aku boleh bersuara, marilah kita belajar pada ungkapan “Diajar ti papada urang”, dan “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”. Aku malu karena belum mampu mengejawantahkan uangkapan-ungkapan itu dalam keseharian. Terima kasih Kang Adah, walau kita hanya berbincang beberapa saat di halaman BJB Majalaya.

Kertasari, 20 Desember 2017


BLANTERLANDINGv101

Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Isi Di Sini
Kirim Sekarang