![]() |
| Oma, S.Pd |
Belajar Ikhlas dari
Kang Adah
Oleh : Oma, S.Pd.
“Diajar
ti papada urang”, belajar dari sesama manusia. Pepatah orang tua Sunda
itulah yang mungkin banyak terlupakan. Padahal kalau kita coba kaji, begitu
dalam makna dan besar pula manfaatnya. Terus kalau kita lebih jauh menyikapi
perkembangan zaman, maka pepatah itu akan menjadi kekuatan pemikiran di abad
dua puluh satu. Salah satu kompetensi yang disyaratkan untuk menghadapi
kemajuan abad dua puluh satu adalah kemampuan kolaborasi atau kerja sama. Begitulah
kehebatan orang tua kita, sejak dulu sudah mampu memikirkan kemampuan apa yang
diperlukan di abad yang serba canggih.
Kembali pada
pepatah “Diajar ti papada urang”.
Suatu saat Kang Adah sedang berbincang-bincang tentang pengorbanan temannya
mengobati orang tuanya yang sedang sakit cukup berat. Ketika itu datang Kang
Budiman yang juga menceritakan telah menghabiskan uang cukup banyak untuk
mengobati ibunya. Selanjutnya, Kang Budiman berkata’ “Berapapun uang yang kita
gunakan untuk mengobati orang tua tidak usah kita pikirkan, karena sesungguhnya
uang itu bukanlah uang kita, tetapi uang orang tua kita yang diberikan lewat
tangan kita”. Tiba-tiba Kang Anang ikut
bersuara, menguatkan pendirian Kang
Budiman, “ Yah, kita harus ikhlas”. Seketika itu, Kang Adah menjawab
dengan pemikirannya, “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”.
Ungkapan Kang Adah yang berbunyi,
“Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”, inilah yang mungkin harus kita
pelajari dengan pemahaman yang komprehensif. Artinya, apabila seseorang anak
atau siapapun yang sudah berkeyakinan bahwa segala derma yang diberikan kepada
orang tuanya, itu bukan milik atau rizki dia, tetapi semata-mata itu milik dan
rizki orang tuanya yang diberikan lewat tangan dia. Inilah keikhlasan yang
sesungguhnya. Dalam pemikiran lain, mungkin saja Si-Dia (Seorang anak atau
siapapun) tidak akan mempunyai uang untuk mengobati orang tuanya apabila orang
tuanya tidak sakit. Ketika kerangka pemahaman ini sudah terbentuk dalam diri
seseorang maka akan hilanglah penyekit
stress dengan berbagai penyakit yang
ditimbulkan oleh stress.
Dalam kenyataan hidup yang lain,
Kita sering menghitung atau berkata bahwa uang kita (orang tua) cukup besar
untuk membiayai sekolah anak. Padahal sesungguhnya uang itu adalah uang anak
kita, bukan uang kita. Seandainya kita tidak punya anak yang sekolah atau
kuliah, mungkin kita tidak punya uang itu. Sekali lagi, inilah mungkin makna
uangkapan Kang Adah, “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”.
Dalam dunia kerja, apalagi ini. Kita
yang dititipi tugas dan kewajiban mengelola keuangan, akan sering berhadapan
dengan kenyataan seperti di atas.
Setelah mencairkan dana, dana itu segera disalurkan untuk menutupi
komponen-komponen yang sesuai dengan juklas dan juksnis yang telah ditetapkan.
Kemudian kita lihat saldo kas tunai, yang tersisa apa? Semua sudah tahu. Tidak
perlu dijawab. Inilah tugas kita, merencanakan, mencairkan, melaksanakan, dan
menyusun pelaporan.
Belajar dari paparan di atas,
minimal ada dua hal yang perlu menjadi pembelajaran. Pertama, berapapun uang,
rizki, harta, atau apalah namanya yang secara syah sudah berada di tangan kita
belum tentu sepenuhnya menjadi milik kita. Mungkin di situ ada hak anak, hak
orang tua, bahkan hak orang lain sekalipun. Kita harus menanamkan pemahaman
yang mendalam bahwa apapun yang kita berikan kepada pihak lain, itu memang hak
dan milik mereka. Dan bersyukurlah bahwa kita sudah dipercaya oleh Yang Maha
Pemberi untuk memberi kepada orang lain. Kedua, sebagai insan yang diberi tugas
dan wewenang kedinasan, kita harus mengelola/menyalurkan keuangan sesuai dengan
juklak atau juknis yang telah ditetapkan.
Seandainya aku boleh bersuara, marilah kita belajar pada ungkapan “Diajar ti papada urang”, dan “Kalau sudah begitu sudah lebih dari ikhlas”. Aku malu karena belum mampu mengejawantahkan uangkapan-ungkapan itu dalam keseharian. Terima kasih Kang Adah, walau kita hanya berbincang beberapa saat di halaman BJB Majalaya.
Kertasari, 20
Desember 2017



0 komentar